Apa Itu Selamatan Orang Meninggal dalam Tradisi Jawa dan Islam?

Selamatan orang meninggal adalah ritual tradisional yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat Jawa, khususnya yang beragama Islam. Secara sederhana, selamatan adalah acara berkumpul keluarga, tetangga, dan kerabat untuk mendoakan arwah orang yang telah meninggal dunia. Tapi lebih dari sekadar acara sosial, selamatan punya makna spiritual yang dalam.

Dalam bahasa Jawa, selamatan sering disebut juga dengan istilah kenduri atau tahlilan. Kata "tahlilan" sendiri berasal dari bacaan tahlil (laa ilaaha illallah) yang dibaca bersama-sama saat acara berlangsung. Ritual ini dilakukan pada hari-hari tertentu setelah kematian, seperti 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari.

Asal Usul Tradisi Selamatan

Tradisi selamatan sebenarnya sudah ada sejak zaman pra-Islam di Jawa. Nenek moyang kita dulu punya kepercayaan animisme dan dinamisme yang percaya bahwa roh orang yang meninggal masih membutuhkan "bekal" dan doa dari yang masih hidup. Ketika Islam masuk ke Nusantara, para wali songo dengan bijak tidak menghapus tradisi ini, melainkan mengislamkannya.

"Para wali mengajarkan bahwa selamatan bukan untuk 'memberi makan' arwah, tapi sebagai media silaturahmi dan bersedekah atas nama almarhum, yang pahalanya akan sampai ke arwah."

Jadi, selamatan yang kita kenal sekarang adalah hasil akulturasi budaya Jawa dan ajaran Islam. Inilah yang membuat tradisi ini unik dan tetap lestari hingga kini.

Makna Filosofis Selamatan

Dari perspektif Islam, selamatan punya beberapa hikmah:

  • Mengirim Doa: Doa dari anak, keluarga, dan orang-orang yang didoakan sangat bermanfaat bagi arwah di alam kubur.
  • Sedekah Jariyah: Makanan yang dibagikan dalam selamatan adalah bentuk sedekah yang pahalanya mengalir ke almarhum.
  • Silaturahmi: Selamatan menjadi momen berkumpul, mempererat tali persaudaraan yang mungkin sempat renggang.
  • Pengingat Kematian: Bagi yang hadir, selamatan jadi pengingat bahwa kematian adalah pasti dan kita harus mempersiapkan diri.

Dari sisi budaya Jawa, selamatan juga mengandung nilai gotong royong dan tepo seliro (tenggang rasa). Tetangga yang datang biasanya ikut membantu menyiapkan acara, tanpa diminta.

Tata Cara Selamatan

Meskipun bisa berbeda-beda antar daerah, secara umum tata cara selamatan adalah sebagai berikut:

  1. Persiapan: Keluarga menyiapkan makanan (biasanya nasi tumpeng, lauk pauk, dan kue) yang akan dibagikan kepada tamu.
  2. Pembukaan: Acara dibuka oleh tuan rumah atau tokoh agama setempat dengan sambutan singkat.
  3. Pembacaan Tahlil: Dipimpin oleh modin atau ustadz, jamaah membaca surat Yasin, tahlil, dan doa-doa untuk almarhum.
  4. Doa Penutup: Ustadz memimpin doa penutup yang ditujukan khusus untuk arwah yang dimaksud.
  5. Pembagian Berkat: Makanan dibagikan kepada tamu untuk dibawa pulang sebagai berkah.

Waktu pelaksanaan biasanya setelah Maghrib atau Isya, menyesuaikan dengan waktu luang masyarakat sekitar. Untuk menentukan tanggal yang tepat, banyak keluarga sekarang menggunakan kalkulator selamatan online agar tidak salah hitung.

Perbedaan Pendapat Ulama

Perlu diketahui bahwa tidak semua ulama sepakat dengan praktik selamatan. Ada beberapa perbedaan pendapat:

⚖️ Spektrum Pendapat Ulama

  • Ulama NU (Nahdlatul Ulama): Membolehkan dan menganjurkan selamatan sebagai bentuk sedekah dan doa untuk mayit.
  • Ulama Muhammadiyah: Membolehkan sedekah dan doa, tapi tidak harus dalam bentuk ritual khusus di hari-hari tertentu.
  • Ulama Salafi: Menganggap selamatan sebagai bid'ah karena tidak ada contoh langsung dari Nabi Muhammad SAW.

Yang penting adalah niat. Jika niatnya murni untuk berdoa dan bersedekah, insya Allah bernilai ibadah. Tapi jika dilakukan karena takut "kena getah" atau demi gengsi sosial, maka perlu diluruskan niatnya.

Selamatan di Era Modern

Di zaman sekarang, tradisi selamatan mengalami beberapa adaptasi:

  • Selamatan Virtual: Karena pandemi atau jarak jauh, beberapa keluarga mengadakan tahlilan via Zoom atau Google Meet.
  • Donasi Online: Alih-alih menyiapkan makanan, ada yang memilih menyumbang ke panti asuhan atau masjid atas nama almarhum.
  • Kalkulator Digital: Untuk menghitung tanggal selamatan, kini tersedia berbagai kalkulator online yang praktis dan akurat.

Meskipun bentuknya berubah, esensi selamatan tetap sama: mendoakan yang telah pergi dan mempererat ikatan yang masih hidup.

Kesimpulan

Selamatan orang meninggal adalah tradisi yang kaya akan makna spiritual dan sosial. Ia adalah jembatan antara dunia dan akhirat, antara yang hidup dan yang telah pergi. Selama dilakukan dengan niat yang benar dan tidak menyimpang dari ajaran Islam, selamatan adalah tradisi yang patut dilestarikan.

"Yang terpenting bukan megahnya acara, tapi keikhlasan doa yang dipanjatkan untuk almarhum."

Referensi

  1. Geertz, Clifford. (1976). The Religion of Java. University of Chicago Press. https://press.uchicago.edu/
  2. Departemen Agama RI. (2010). Pedoman Penyelenggaraan Jenazah Menurut Islam. Jakarta. https://kemenag.go.id/
  3. Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. https://opac.perpusnas.go.id/